Akhirnya Terjawab di Pertemuan Ketujuh!

Entah Jumat yang keberapa dalam hidup, yang kuingat saat di dalam kelas terakhir perkuliahan menuju waktu Ashar. Hari itu masih hangat banget berita Aksi Damai 212.

“Coba saya tunjuk yang bantu saya tuliskan firman Allah surat An-Nisa ayat 59.” Dosenku melirik ke seluruh Mahasiswanya. Entah aku yang lagi gak konsentrasi, yang lagi melongo, atau gimana, jadilah aku yang ditunjuk. Tapi, ya gak papa juga, sih. Karena memang seharusnya gak papa banget, karena nulis ayat Al Quran bukan hal yang butuh mikir kayak ngerjain soal Kimia Organik.

Aku ke depan dengan santai. Ambil spidol di atas meja Dosen. Gak terlalu diukir-ukir sih tulisannya, cuma ya cukup terbaca wkwkwk. Setelah aku tulis ayat Al Qurannya, terus aku tulis juga arti dalam bahasa Indonesianya. Tutup spidol, simpan di atas meja Dosen lagi, dan ketika mau balik lagi ke tempat duduk, Dosen aku tanya, “Apa yang kamu tulis di bawah ayatnya?”

“Artinya, Pak.” 

Dan, di sinilah aku jadi cengo beneran.

“Saya kan mintanya kamu tulis Firman Allah. Kamu tau gak, ayat yang Allah turunin itu bahasa apa?”

“Arab.” Aku masih berdiri di depan temen-temen kelas.

“Yaudah, hapus artinya karena itu bukan Firman Allah.”

Aku gak ngomong apa-apa. Gerak ambil penghapus dan yaudah dihapus, terus aku kembali duduk.

“Al Quran kamu ada terjemahannya, ya?” Tanya Dosenku lagi sambil natap aku tajam. Di sini udah mulai gak santai sih aku hahaha. Kayak kikuk. 

“Iya, Pak ada.”

“Coba kamu bacain terjemahannya.”

Wahai orang-rang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.

“Apa maksud ulil amri di ayat itu?” Beliau masih menatap mataku. Itu artinya pertanyaan itu tertuju padaku, bukan ke temen-teme kelas. 

“Pemerintah, Pak.” Jawabku polos. 

“Kata siapa kamu?”

Aku diem beberapa menit. “Aku harus jawab apa donk? Kata ustaz di LDK? Kata Kakak mentoring?”

“Di sini ada yang bawa Al Quran lagi gak?” Beliau memperhatikan sekeliling ruangan.

Ada temenku yang angkat tangan, dan dia diminta bacakan terjemahan ayat yang sama. Dan artinya masih sama.

“Firman Allah itu, hanya Allah yang tau maksudnya. Jadi, kita gak bisa menerjemahkan seenaknya sesuai pikiran manusia. Saya aja gak tau. Kalau mau tau, saya mati dulu dan tanya langsung ke Allah.”

HAH? MAKSUDNYA APA?

Apa karena aku masih ingusan banget jadi bertanya-tanya begini? Apakah para penafsir Al Quran itu orang-orang yang tidak berilmu? Ya gak mungkinlah. Tapi, kenapa harus ketemu Allah dulu baru tau artinya?

Dari situ kemudian aku terus bertanya-tanya. Belum sampai bertanya ke guru-guru, justru aku dapat jawabannya di acara televisi. Di Bang One pas masih ada. Eh apa ya nama acaranya aku agak lupa, yang pasti belum jadi Indonesia Lawyers Club sih, kalau pandangan kayak Dosenku itu namanya Hermeneutika.

Sampai di situ aku kayak “Oh, yaudah.” Wkwkwk apasih, kok yaudah aja? Ya pokoknya abis itu kayak lebih mewanti-wanti aja sih kalau ada yang menyampaikan hal serupa jadi tau dan buat modal mawas diri. Setelah bertanya dan membaca.

Maka pada Rabu, 17 Maret di kelas ketujuh Sekolah Pemikiran Islam membahas mengenai “Wahyu dan Kenabian” yang diisi oleh Ustaz Dr. Nashruddin Syarief, Direktur At-Taubah Institute dan Direktur Tsafiq Publishing kembali menjawab kebingunganku yang lalu. 

Pembahasannya memang gak mendalam soal Hermeneutika, cuma disinggung dikit. Tapi jadi menarik karena banyak yang tanya hal itu. Termasuk aku wkwkwkwk.

Nah, aku coba review materi dari Ustaznya, ya yang aku catat hehe.

Wahyu adalah firman atau kalam Allah yang asli, yang diberikan kepada seluruh Nabi dan Rasul. Ada 24.000 Nabi dan 315 Rasul. Nah, ternyata ya temen-temen, wahyu itu gak melulu lewat malaikat Jibril, tetapi juga ada yang disampaikan langsung oleh Allah pakai hijab. 

Nah, terus kalau kita masuk dalam konteks Al Quran yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang berbahasa Arab, udah dijelasin sebelumnya di kitab-kitab Allah terdahulu. Allah pun sudah mengajarkan kepada Nabi dan Rasul  kalau suatu saat nanti bakalan ada Nabi terakhir dan diajarkan kepada pemeluk-pemeluknya.

Bahkan nih, ya, sejak kecil aja tuh sejumlah pendeta di Makkah udah bisa lihat dan ngasih tau ke orang-orang kalau Muhammad kecil adalah calon penerima kitab terakhirnya Allah.

Oleh karena itulah, Al Quran adalah kitab yang paling jelas. Saking jelasnya susah ditolak. Bani Israil aja tuh udah tau kalau ada tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad sejak kecil, ya namanya mereka mah kan ‘bebel’ kalau dibilangin tuh.

Nah, proses pemberian firman dari Allah ke Malaikat Jibril lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad tuh ternyata jadi polemik nih. 

Ada yang menganggap bahwa mustahil wahyu Allah dari langit tidak mengalami penafsiran. Terus juga dari Malaikat Jibril ke Nabi Muhammad, pasti mengalami penafsiran yang berbeda, sehingga Al Quran yang berbahasa Arab saja dianggap kalau Nabi Muhammad ya orang Arab.

Jadi seakan-akan ada pengalih bahasakan dalam Al Quran mulai dari Allah sampai ke Rasulullah Muhammad yang memalui Malaikat Jibril.

Pandangan kayak gitulah yang bisa dikatakan hermeneutika, temen-temen. Mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad itu manusia biasa yang bisa salah dan mendorong kita untuk memahami kondisi atau latar belakang psikologis, biologis, dan lain-lain dalam menerima ayat Al Quran, sehingga mereka berkeyakinan kalau sekarang, bisa mengartikan Firman Allah dengan kontekstual.

Makanya dari teori tersebut muncul deh tuh isu-isu global yang ‘ngebet’ banget harus disesuain sama Al Quran. Ada yang ingin isu-isu tersebut dibenarkan juga oleh Al Quran. Misalnya aja hukum berjilbab dan feminisme. 

Ada yang mengatakan bahwa berjilbab atau enggak tuh ya hak, dsb. Padahal udah jelas, ya kalau perintah berjilbab itu datang dari Allah langsung. Udah gak ada tawar menawarnya.

Orang-orang orientalis masih menggunakan teori hermeneutika. Makanya, sebetulnya wahyu Allah tuh gak bisa diakses sama orang-orang kayak mereka itu. 

Terakhir, penegasan dari Ustaz Nasruddin, kalau Nabi Muhammad salah penafsiran terhadap ayat Al Quran, wahyu yang di dalam kitab mulia gak akan mungkin sampai ke kita saat ini. Kalau Nabi Muhammad berbohong, udah dimusnahin sama Allah.

Bukti kalau wahyu Allah dalam Al Quran otentik dan gak bisa dijelaskan secara kontekstual adalah bahasa Al Quran cuma satu, yaitu bahasa Arab. Di manapun kita berada, kalau kita ke benua Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa, kita akan selalu menemukan isi Al Quran yang sama.

Wallahu alam. 

Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »