Bagai Buih di Lautan

Petang itu aku sedikit kecewa dengan diriku sendiri. Entah mengapa ada kekecewaan dalam hati terhadap bangsa ini. Aku berusaha sekuat hati untuk tidak menghardik dalam relungku. Bagaimana mungkin aku bisa putus harapan dengan tanah air yang sudah banyak disuburi oleh orang orang salih terdahulu.

Jalan yang aku susuri tidak begitu mulus, banyak lubang dengan bebatuan kecil. Angkutan umum yang aku tumpangi bergoyang goyang. Aku fokus pada pemandangan di luar jendela. Petang itu awan semakin gelap, tokok toko pinggir jalan bergegas untuk menutup tralis.

Dengan lirih aku gerakkan bibirku, ‘ya Allah..ya Allah.. Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikmannashir’. Air mata menggumpal di pelupuk mata tertahan oleh rasa gengsi dilihat penumpang angkot lain. Aku mengangkat kepala ke atas langit langit angkot agar air matanya kembali masuk, ‘buat nanti saja aku keluarkan lagi di rumah’, bercandaku dalam hati.

Aku menanrik nafas dalam dalam dan menghembuskan perlahan, kemudian kuteruskan melihat pemandangan gelap di luar jendela mobil.

Rasulullah dan para Khalifah setelahnya, mereka adalah pemimpin yang adil. Aku keluarkan sedikit tanganku ke luar jendela untuk merasakan angin bersama lajunya mobil, lantas aku kepalkan tangan kuat kuat.

Bukankah dulu Rasulullah menjadi pemimpin untuk seluruh umat beragama? Bukan hanya untuk umat Muslim saja, karena Rasulullah adalah pemimpin negara. ketika Rasulullah memimpin semua rakyatnya sejahtera, semua; bukan hanya umat Muslim saja karena beliau adalah pemimpin yang jujur sehingga dicintai oleh rakatnya.

Kemudian Khalifah Umar bin Khattab. Aku sangat mengidolakan kepemimpinan Umar yang sangat merakyat. Telinganya bagai kelalawar yang sangat peka terhadap gelombang suara keluhan rakyatnya. Matanya sangat tajam melihat kondisi rakyatnya yang meronta kesusahan, hingga pada hatinya yang lembut menerima masukan dari rakyatnya, yang selalu memohon maaf kepada Allah ketika sudah berkata lebih tinggi karena emosi. Sungguh ia sangat takut kemarahannya bukan atas izin Allah.

Lalu bagaimana dengan saat ini?

Islam menjadi objek untuk di-phobia-kan oleh umat Islam itu sendiri.

Islam menjadi objek yang digorengkan sebagai sesuatu yang berbahaya.

Ada yang bergerak untuk mempertahankan nama Islam tapi ajarannya dikerdilkan.

Ada yang bergerak atas nama Islam tapi rupanya hanya untuk modal kekuasaan.

Ada orang Islam yang takut Islam berjaya di tanah airnya.
 

Orang Islam saling sikut, antara yang teguh dengan ajarannya dengan Islam yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan dunianya. Sehingga politik dikemas bagai monster yang menakutkan bagi orang orang Islam, agar umat Muslim menjauhi politik. Orang orang Islam yang teguh di politik diseret beragam kasus kriminal. Ormas Islam yang menjaga negara dengan amar makruf nahi munkar tercitra ganas merusak tatanan negara mulai dari keutuhan bangsa hingga infrastruktur negara. Fitnah sana, fitnah sini padahal satu akidah.

Ada ulama yang diboikot tidak boleh kembali ke tanah perjuangannya. Ada ulama yang dibatasi dakwahnya di media sosial. Bukan lagi hirup pikuk yang terjadi, namun tornado yang tidak menyisakan sepuingpun papan pertahanan.

Ada bayangan yang hanya terlihat oleh batin yang kotor. Oh, ternyata bukan hanya itu, bukan hanya kotor namun juga bertahta. Permainan yang tak terlihat. Mereka menciptakan skenario dengan diadakan masalah dan muncul sebagai pahlawan.Susah diterima akal orang awam, karena yang bekerja pun tak terlihat. Kalau seperti negeri dongeng masih bisa dibayangkan walaupun hanya sebatas imajinasi, tetapi untuk hal ini tidak pernah tau sebelumnya. Alam bawah sadar belum pernah menerima informasi yang semu tapi bertuan; susah.

Maka itulah yang membuatku meringis dalam jiwa. Aku berharap malam itu turun hujan sangat deras untuk memadamkan api yang bergejolak dalam diriku. Setidaknya dari balik jendela angkutan umum yang aku tumpangi membuatku sadar, bahwa rahmat Allah masih berkenan turun di tanah ini.

Maka itulah yang menjadikan aku rindu para pemimpin terdahulu. Maka merasa rindu dengan Rasulullah dan Khalifah terdahulu adalah penawar kekecewaan. Sadarlah aku pada janji baginda Nabi, bahwa umat Muslim akan seperti buih di lautan. Umat Muslim jumlahnya banyak tetapi tidak memiliki kekuatan. Apakah itu kita?


Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan
kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas
piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?”
Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu
seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu
terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.”
Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan
takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).

Sudah semakin terlihat jelas antara yang haq dan bathil. Sudah semakin banyak kemaksiatan yang dianggap wajar karena digiring menjadi hal yang biasa. Ternyata, tanah air ini masih menjadi tempat yang nyeyak untuk orang Islam tertidur pulas.

Malam itu, aku bergumam: ‘Maka inilah waktunya. Waktunya kita memulai. Pertarungan antara haq dan bathil belum usai, karena pengadilan di Mahkamah Allah berlum berlangsung. Dia masih kasih waktu untuk kita siapkan bukti dengan jejak jejak terbaik di muka bumi.”

Kemenangan itu nyata. Alquran sebagai bukti janji Allah.

Alquran surat Al Fath ayat empat, ‘Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui, Maka bijaksana.’

Allah tidak akan diam, Dia tidak akan salah Mengasihi. Kemenangan yang Allah siapkan bukan sekedar jabatan yang direbutkan banyak orang. Bisa dengan keteguhan dan kesehatan untuk terus bergerak menebarkan ajaran Islam untuk dipanen dan dipetik manis buahnya di akhirat.

Kita tidak pernah kalah. Bersatu dan bermujahadahlah!

Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »