Assalamualaikum, kamu! Semoga dalam keadaan sehat dan hati yang lapang ya saat membaca tulisan ini. Mari saling mendoakan agar hidup kita diiringi keberkahan.
Jadi, nih temen-temen, aku mau review pertemuan ke duabelas di semester dua ini, ya. Aku bener-bener ter-mindblowing-kan sih sama materi kali ini. Aku pribadi jarang banget terpapar terkait nativisasi. Alhamdulillah juga, mataku seger karena ditemani kapucino hangat hahaha.
Ustaz Tiar Anwar Bachtiar, Dosen STAI Persis dan Universitas Padjajaran Bandung membuka kelas kami dengan menyampaikan masalah umat muslim ada tiga, yaitu kristenisasi, liberalisasi, dan nativisasi. Nah, tentang nativisasi, gimana? udah pamah sama gerakan satu ini?
Yups, aku sebut gerakan karena sesungguhnya ini bukanlah kepercayaan. Kalau menurut bahasa, nativisasi artinya asli atau asal. Ya, kalau kita belanja online pasti yang kita idam-idamkan barang original, ya. Tapi, menjadi masalah ketika keaslian ini masuk ke dalam aqidah. Lho, bagus donk kalau ke aqidah yang asli itu berarti mengakar keislamannya? Oh, tentu bukan seperti itu! Hehe
Misalnya aja nih, orang Sunda. Siapa yang merasa orang Sunda, harus jadi orang Sunda yang seutuhnya, yang punya falsafah Sunda. Tapi, sejarah keaslian Sunda itu terdapat kemusyrikan. Dalam sejarahnya, sunda asli itu terpapar kepercayaan Hindu yang tercermin dari kewayangan.
Kampanye kembali pada asal ini mendestruksi keimanan, teman-teman. Gawatnya, ada kepercayaan, kalau Islam dari Arab, berarti kita terpengaruh Arab. Gerakan ini tuh blunder, bercampur dengan gerakan kebatinan yang marak saat zaman Belanda, yaitu agama asal di batin aja, gak percaya kalau agama itu ada bentuknya. Maksudnya tuh, kalau beragama ya cukup ingat dan memikirkan tuhan. Mereka tidak beragama secara formal.
Nah, mereka juga punya gerakan ‘back to nature’ yang menghidupkan kebiasaan lama atau masa lalu ke kebudayaan lokal. Zaman post-modern kembali dihidupkan, sehingga konteks aqidah pun kembali pada budaya. kembali ke alam itu baik, gerakan yang keren. Sayangnya, gerakan ini banyak yang ditunggangi nativisasi.
Tapi, nih Ustaz Tiar cerita kondisi di Jawa Barat, ada ajaran, namanya Madrais, yaitu ajaran yang terjerumus pada kebatinan. Gerakan ini kemudian bikin agama yang gak jelas di sekitar abad 19. Bisa dibilang sih baru, ya. Masih jauh lah sama Islam mah. Nah, apakah itu yang disebut keyakinan asal? wkwkwkwk.
Gerakan nativisasi juga rada-rada, sih! Kalau lagi debat nih, misalnya. “Coba sinih, kami minta data historis agama asal yang dimaksud.” Mereka tuh gak bisa kasih itu temen-temen. Padahal mah lebih tuaan ajaran Islam sama ajaran mereka. Mereka akan menjawab, “Kok minta data sih? kami percaya karena ada penjelajahan ghaib. Perjalanan spiritual.” Nah, lho serem gak sih?
Kalau keontetikan Al-Quran kan ada ilmunya, ya. Ilmu Al-Quran juha hadis yang bisa nunjukin objektivitas dengan sains. Sedangkan orang yang menganut nativisme, mereka pake jin, yang bisa salah atau benar, dan gak tau gimana cara membuktikannya.
Kalau kita tanya mereka yang katanya ketemu sama ‘mbah’ yang hidup 1 Masehi, gimana sih cara mereka komunikasi? Komunikasinya pake bahasa apa? Emangnnya ngerti? Mereka gak mau diajak diskusi, dan kita dianggap ‘denial’.
Terus, terus, ada gak sih nativisasi di sekitar kita? Oh tentu ada donk! Ada gerakan kebatinan ini, yang mengajak kita jauh dari aqidah Islam yang contoh daya tariknya adalah kesenian. Ada juga lewat ramalan yang dihidupkan kembali, yang bentuknya mirip kebatinan tapi modelnya dikemas modern.
Lantas, kita harus ngapain donk sebagai muslim yang udah tau bahaya nativisasi?
Tara tara, ini adalah bagian yang membuatku bersemangat saat mendengar penjelasan Sang Guru!
Untuk menutup nativisme ini, jadikan kesenian sebagai alat dakwah. Sayangnya, peminat seni kurang sih di kalangan umat Islam. Contohnya aja wayang yang disulap jadi alat dakwah sama Walisongo, terutama Wayang Golek yang udah kentel banget punya image-nya Islam. Kalau contoh seni yang dipakai di gerakan kebatinan ini ada seni karindang, juga Jentreng yang dicampur ritual memanggil jin. Kalau yang kita kenal, Bang Roma Irama, yang berhasil masuk ke dunia dangdut, yang terlalu kental image-nya dengan aktivitas senonok, tapi beliau bisa masuk ke dunia dangdut untuk syiar Islam.
Jangan mematikan passion. Passion kita di mana aja, harus dijadikan alat dakwah. Belajar untuk passion adalah fardhu kifayah. Belajar pokok agama hukumnya fardhu ‘ain.
Yuk, yuk pemuda muslim harus terjun di banyak gerakan! Jangan sampai gerakan-gerakan baik seakan lahir dari mereka. Ayuk tutup celah nativisasi, tutup celah kekufuran!