Mencintaimu yang Sempurna

Finished 🙂
i tried to maked a cerpen. And i hope this cerpen can give inspiration for other people. About love and about struggle for change to be a decent human. Hoping reunted with mate wich has been planed byAllah.

PLEASE READ AND GIVE CORRECTION GUYS 🙂

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
AR-SA

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

Mencintaimu yang Sempurna
Ini adalah soal kata. Mengapa
di dunia ini tedapat kata ‘tapi’? karena manusia tidak ada yang sempurna.
Salahkah jika aku berharap seseorang yang sempurna? Kesempurnaan manusia
memiliki batas kadar. Ini soal kebahagiaan, karena kesempurnaan akan menghadirkan
sukacita. Karena ini soal waktu, selamanya bukan hanya satu atau dua hari.
Kesempurnaan bagiku adalah solusi dari panjangnya waktu jika diizinkan oleh
Allah. Karena ini masalah suatu massa yang akan melahirkan massa yang baru dan
akan menciptakan kesempurnaan pula. Ini soal mereka yang menjerit dengan
ketidaksempurnaan teman hidupnya. Yang harus dipisahkan dan meninggalkan isak
tangis tanpa menyisakan setetespun kebahagiaan. Yang harus menanamkan kebencian
bahkan kecacatan hati. Menjadi pincang  perasaan cinta. Karena ini adalah soal
pilihan, apakah masih mempertahankan ego atau kepasrahan dalam memilih.
***
                Dengan bisu aku perhatikan tetes
demi tetes hujan, jadilah dingin perasaanku seketika teringat dia yang
menjanjikan mengubah tiap tetesan hujan dengan kebahagiaan. Hatiku mengkristal menjadi
kebencian. Ketulusan menjadi busuk. Sebuah titik menjadi titik selesainya
tangan ini bergores. Masih dalam keadaan mata terhipnotis pada tetesan hujan ,tanganku
berusaha meraih handphone touch hitam berukuran sedang. Aku hanya  menekan bagian samping untuk menghidupkan
handphone. Tidak ada sms, hanya memunculkan sembilan titik untuk membuat pola
dan di belakangnya terdapat foto kebersamaan dengan sahabat terbaikku.
Kuhempaskan dengan perlahan handphone . Tak ada yang berbeda semenjak dia
pergi.   
                Hujan pergi dengan awan yang
ditiup angin. Tinggal bekas airnya. Mengalir ke temapt yang lebih rendah. Hanya
meninggalkan basah di tiap jalanan. Sebentar lagi juga diserap tanah, atau
menguap karena datangnya matahari. Datanglah kembli hujan, aku akan merindukanmu.
Ah, kenapa hatiku tiba-tiba menjadi melankolis karena datangnya hujan, padahal
aku tidak mudah tersentuh hatinya apalagi menangis. Loh, apa ini buku diaryku
basah membentuk tetesan bulat. Kenapa mataku sembab? Ah, ada apa ini?.
                “i promise anyitime you call me it don’t matter where i am i always..”  Raiska menelponku.
                “Ya, hallo”
                “Sahidah Sahidah.. kamu lagi gak
nangiskan?”
                “Siapa yang nangis? Kamu taukan
aku  ini gak mudah rapuh hatinya, apalagi
cuma karena    dia, huh!”
                “Sahidah, dia tadi telpon aku,
katanya dia minta balikan. Dia nyesel udah mutusin kamu.”
                “Kenapa harus telpon kamu?
Kenapa gak langsung ke aku aja?.”
                “Dia bilang takut Sahidah jadi
lewat aku. Kamu mau terima dia lagikan?”
                “Mmmm.. aku pikir-pikir lagi ya,
aku gak mau mudah terima dia lagi”
                “Tapi Firman sungguh menyesal,
tidak akan mengulang kesalahannya lagi. Terima dia ya, kasihan dia.”
                “Kenapa kamu yang kasihan sama
dia? Kamu gak kasihan sama aku yang udah dibohongin sama dia?” ah, aku kesal,
pelariannya adalah menekan tombol merah di handphone.
                Kenapa jadi pagi yang memberatkan?
Sudah terbayang bertemu Firman. Aku harus menetapkan sikap. Ya, harus!. Depan
cermina aku menatap baik-baik wajah lalu membereskn baju putih yang telah
menempel dengan rapi menepuk rok abu-abu yang tidak kotor. Kerudung paris putih
tipis aku lipat menjadi segitiga simetris, membungkus rambut hitam yang
terikat.
                Firman berdiri menyandar depan
tiang kelas. Dari jauh aku perhatikan dia yang senyum ke setiap orang yang berjalan
di depannya. Ih, kegenitan senyum sana-sini. Dengan culas aku lewat di
belakangnya, saat dekat dengan tubuh dia jalanku dipercepat lalu masuk kelas.
Aku langsung duduk di meja, saat mau duduk, ada selembar kertas berwarna biru
bunga-bunga. Tanpa aku raih aku memabaca “Sahidah,
aku ingin bertemu. Aku mohon kamu mau ya, di taman sekolah dijam istirahat
pertama
tidak ada keterangan
siapa pengirimnya, tapi aku hafal betul pemilik tulisan surat singkat itu.
                Jam istirahat ditandai dengan
bel. Tapi hatiku ragu untuk bertemu dengan Firman. Aku tengok belakang Firman
masih diam di mejanya, malah dia asik bercengkrama dengan teman-temannya. Tak
lama aku kembali pada pandangan ke depan, Firman ke luar melewatiku tapi tak
sedikit
pun
menengok ke arahku. Kenapa Firman cuek, lalu apa maksudnya dia mengirim surat
tadi pagi?. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti Firman dari belakang. Biar
saja, dia ke taman sekolah. Duduk sendiri seperti menunggu seseorang. Langkahku
terhenti tak berpikir lama aku membalikkan tubuh dan buru-buru lari menuju
kelas.
                “Rasika, aku gak mau ketemu
Firman. Titik!”
                “Kenapa sih, tiba-tiba dateng
bukannya kasih senyum ke sahabatnya malah marah-marah”
                “Aku kesel Rasika, kesel!”
                “Kamu kenapa, cerita yang jelas
jangan Cuma bilang kesel aja ah!”
                “Firman minta ketemu dijam
istirahat ini, tapi pas di kelas dia sama sekali gak nyapa apalagi senyum sama
aku, ah gak niat kali ketemu akunya”
                “Hahahahaha jadi itu alasan
kenapa kamu sebel sama Firman? Itu berarti kamu masih berharap bisa balikan
sama dia dasar egois kamu!”
                “Kamu bukannya nenangin aku
malah ngehakimin aku males ah!”
                “Bodo amat, munafik sih”
                Tanpa kata lagi aku meninggalkan
Rasika. Jam istirahat telah habis. Aku sudah siap duduk di tempatku. Saat mataku
tak berarah melihat ke depan ruang kelas langsung terhipnotis pada satu orang
yang tidak sedikitpun melemparkan senyum seakan tidak ada hubungan apa-apa aku
dengan dia. Padahal aku sudah membuat kesal dia, aku tidak menemui dia di jam
istirahat tadi. Firman jalan begitu saja bahkan tak melirik lama pada wajahku.
Aku menelan ludah. Firman, ini membuktikan kamu sama sekali tidak serius
meminta aku untuk balikan.
***
                Firman datang ke mejaku
memberikan senyuman termanisnya. Ini adalah senyuman termanis yang hanya dia
berikan padaku. Dia duduk di meja berhadapan denganku. Aku bermanjaan
dengannya. Saat tanganku memegang pulpen yang hanya aku main-mainkan tangan
Firman memegang ujung pulpen dan perlahan menyentuh dan meraih tanganku. Tak ada
reaksi dariku, senyum merekah dari bibirku yang tak bisa berkata apa-apa.
Firman, hatiku berdebar kencang, aku ingin kau tau perasaanku saat ini. Pulang
sekolah kau tarik tanganku saat aku bertanya ingin dibawa ke mana a, Firman
hanya diam saja. Hanya intruksi mata aku langsung naik motor yang sudah Firman
siapkan dengan menyalakan mesinnya. Taman kota disore hari sejuk sekali awan
yang menjingga udara malam sudah terasa dengan hembusan angin yang manis,
burung-burung berbondong kembali ke sangkarnya, dedaunan bergoyang mengikuti
keinginan angin yang lembut, ah sore yang romantis apalagi saat ini dengan
Firman yang sering kali mengetuk hatiku dengan menggelitik. Kau satu-satunya
bunga yang merekah di antara ribuan bunga di taman, Firman.
                “Tunggu sebentar ya Cantik”
Firman lari tanpa menunggu balasan dariku.
Dia datang membawa es krim cokelat
kesukaanku, ah dia tau saja yang aku inginkan saat ini. Firman memberikan
dengan lembut, aku menikmati eskrim sangat menikmati dinginnya  dan nikmatnya rasa cokelat menambah romantis
sore ini, dengan bincang-bincang ringan dengan Firman. Firman memang yang
paling bisa membuat aku tertawa. Kenangan manis dia berikan selama tiga  tahun terakhir ini. Dia memegang tanganku
membuat hangat hingga ke hati. Takku sangka dia mencium telapak tanganku. Aku
terkejut dan reaksiku berdiri dan menghiraukan es krim yang jatuh di rumput
hijau. Aku memang tidak mengeluarkan kata apapun hanya tatapan yang memberikan
sebuah kata bahwa aku kecewa dengan Firman. Firman menarik tanganku hingga aku
kemb
ali
duduk, dia memohon maaf karena khilaf. Moodku tiba-tiba rusak. Pikirku pegang
tangan adalah semaksimalnya pacaran selebihnya aku tidak ingin terjadi.
***
                Jadi, suatu hari aku melihat
mamah menangis. Aku menghampiri perlahan dan berusaha mengusap air mata mamah.
Mamah sudah tiga tahun menjadi ayah sekaligus untukku dan dua saudaraku. Mamah
mungkin lelah dengan kesendiriannya tanpa ditemani pendamping hidup. Ayah
meninggalkan mamah karena perempuan simpanannya selama satu tahun. Ayah
mempermainkan kesabaran mamah walaupun mamah sudah mengetahui belangnya ayah
dari awal ayah selingkuh. Mamah selalu sa
bar dan yakin ini hanya ujian yang dia yakini
dengan cinta akan mengubah sikap ayah. Tetapi kesabaran mamah hanya terbalas
luka saat perempuan simpanan itu telah hamil hasil hubungan gelap ayah. Ayah
lebih memilih bertanggung jawab dengan anak yang dikandungnya dengan menikahi
perempan itu. Jadilah aku merasa cacat berjalan tidak sempurna tanpa sosok ayah
lagi di kehidupanku.
                Sejak saat itu mamah sering
menasihatiku tidak boleh pacaran, karena dengan pacaran tidak akan menjadikan
aku sebagai istri yang baik kelak, begitu pula tidak akan menciptakan suami
yang baik kelak. Laki-laki yang sudah berani memegang tanganmu saat pacaran,
jangan menyesal nanti memilih dia saat nanti sudah menikah dia berani memegang
tangan perempuan lain selain istrinya. Aku banyak mengambil pelajaran dari
mamah yang walaupun aku juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayah pergi.
***
                Di jam setelah istirata itu aku
mengingat dua kejadian. Saat tanganku pernah dicium oleh Firman dan sosok mamah
yang menangis dan memberi pesan untukku. Di sisi lain aku masih menyimpan rasa
sayang pada Firman. Firman, tetapi sikapmu beda dari yang aku tau. Semenjak aku
memintanya untuk mengakhiri hubungan kita.
                Bel pulang berbunyi. Terpaksa
aku pulang sendiri karena Rasika mendadak rapat persiapan acara seminar tahunan
di sekolah.  Jarak sekolah dengan rumah
tidak terlalu jauh. Aku menysuri jalan. Aku nikmati setiap langkah, melihat
setiap kendaraan yang berlalu lalang. Dari kejauhan aku melihat Kak Roisul
dengan penampilan rapinya. Kak Roisul alumni sekolahku satu tahun yang lalu tetapi
dia masih setia dengan organisasi intra sekolahku, Rohis. Wajahnya terlihat
adem dan memiliki aura innerbeauty. Hatiku berkata dialah sosok yang
sempurna jauh dengan Firman yang tidak bisa menjaga pergulan dengan perempuan. Sosok
yang mamah bilang. Kak Rois
ul memiliki riwayat baik selama di SMA, aktif pada lembaga dakwah dan
sekarang menjadi mentor anak laki-laki di Rohis.
                Kayaknya terlalu jauh jika aku
mengharapkan sosok Kak Roisul. Langkah kakiku lebih serius untuk melangkah
menuju rumah. Setibanya di rumah aku langsung masuk kamar dan melihat diriku di
cermin. Aku mengusap kerudung yang hanya sekedar menutup rambutku. Aku
menyadari ada yang salah dalam diriku. “Jika
aku menginginkan sosok Kak Roisul aku harus berubah. Mulai dari besok ke
sekolah”
hatiku berbisik. Malam-malamnya aku mencoba melapiskan kerudung
parisku dengan kain paris yang sama. Aku lipat kurang dari simetri segitiganya.
Aku coba balut pada kepalaku. Menyatukan dua bagiannya dengan peniti. Sisi
kanan aku simpan di bahu kiri lalu aku hubungkan dengan baju tidur lalu diberi
peniti, lalu sisi kirinya aku simpan di bahu kanan lalu aku pilih bros bunga
merah jambu dan aku buka jarum yang melekat di bros untuk ditempelkan di bahu
kanan. Aku menilik perubahan wajahku. Lebih rapi dan anggun.
                Baru kali ini aku merasakan pagi
penuh dengan percaya diri. Seperi ada yang berbeda. Kerudung yng aku pakai ini
membeikan energi positif. Untuk mendapatkan sosok sempurna  yang mamah harapkan. Aku tersenyum pada
diriku dicermin. Langkah kakiku menuju sekolah. Bukan mentari yang menyambutku,
tapi akulah yng menyambut mentari. Berkat senyumku, mentari bersinar tidak
seperti biasanya. Wahai mentari, jika
nanti kau berproses menguapkan air laut, salam untuk calon hujan ya, bilang
padanya turunlah jangan takut aku berani menghadapi
. Bel masuk memang masih
lama, aku sengaja berangkat lebih pagi. Aku berharap hari ini tidak ada yang
merusak apalagi oleh Firman.
                Aku pikir kelas masih sepi
karena masih setengah jam lagi bel masuk. Firman? Kenapa dia sudah datang?
Kenapa dia di antara dua perempuan? Firman memang laki-laki yang jauh dari
kesempurnaan. Sudah membuat luka hatiku sekarang dia dekati perempuan bahkan
dua? Sebenanrnya apa yang berada dalam pikiran Firman? Laki-laki buaya. Semua
laki-laki sama saja. Mungkin kekagetanku terasa oleh Firman, dia melihat ke
arahku tapi seketika aku lari dari hadapannya. Aku lari ke kelas Rasika. Tapi
dia belum datang, aku lari ke taman sekolah. Aku mendengar langkah kaki ya
ng dipercepat dari belakang tapi
aku hiraukan aku harus lari lebih cepat. Aku duduk di kursi kayu panjang di
pinggiran taman sekolah. Aku merasa ada seseorang di belakangku. Aku
menerka-nerka siapa orangnya. Firman. Pasti dia. Aku akan katakan padanya kalau
aku benci  dia, laki-laki yang hanya bisa
mempermainkan perasaan banyak hati perempuan. Kak Roisul? Kenapa dia yang ada
di belakangku? Ah, ini pasti aku salah lihat, ini bukan Kak Roisul.
                “Assalamu’alaikum Dik Sahidah,
boleh kakak duduk?”
                “Kak.. kak.. kak Raoisul? Benar
kak Roisul?”
                “Iya benar, memang siapa lagi?”
                “Sahidah kira siapa kak maaf ka.
Wa’alaikumsalam. Iya boleh ko kak, silahkan” kak Roisul duduk di sebelahku
tetapi jarak kita agak jauh. Duh, ini nih yang bisa dijadikan calon, sempurna.
                “Sahidah sedang ada masalah ya?
Tadi kakak lihat Kamu lari buru-buru ada apa dik?”
                “Gapapa ka, Cuma ada masalah
sama sahabat Sahidah ka”
                “Siapa? Rasika?”
                “Loh, kakak tau sahabat ku
siapa? Kok bisa?”
                “Kita sedag ada kerja sama untuk
acara Rohis Dik, sekedar tau aja kalau Rasika sahabat baik Sahidah” kak Roisul
tersenyum lembut.
                “Nanti sore Sahidah datang ya
untuk persiapan acara Rohis dua hari lagi. Kita kekurangan tenaga ni.
Dengar-dengar Sahidah jago design spandukkan? Kalau begitu besok bantu Firman
buat design ya”
                “Apa? Siapa? Firman? Di..di..dia
ikut Rohis?”
                “Dia hanya bantu-bantu Sahidah.
Setelah selesai pelajaran ke kantor kami ya”
                “Ta..ta..tapii.. Sahidah gak
janji ya kak”
                “O tidak masalah. Terserah
Sahidah saja. Kakak gak maksa ko, tapi kakak harap Sahidah datang”
                “InsyaAllah kak”
                “Terimakasih Sahida kakak pamit
dulu ya syurkon Sahidah. Assalamu’alaikum”
                “Wa..wa.. wa’alaikumsalam ka
Roisul” aku gugup menjawa salamnya.
                Aku kembali ke kelas. Menundukan
wajah. Langsung aku duduk. Terdiam. Kenapa
tadi Firman gak kejar aku? Apa dia gak tau kalau aku.. cem… ah, enggak
enggak! Dia laki-laki yang gak baik
buat
aku, memang mau disakitin terus sama dia? Tapi kenapa kemarin Rasika bilang
Firman minta balikan kalau kenyataanya dia sekarang dingin sama aku? Apa dia
nyerah buat nged
apetin aku? Sudahlah masih
ada kak Roisul yang jauh lebih baik. Ya jauhlah kalau dibandingkan dengan
Firman. Bagaikan langit dan bumi.
                Lamunanku terpecahkan dengan suara salam guru Fisika. Baru sadar kalau sekarang
ulangan harian Fisika, sedangkan aku belum mempersiapkan kertas selembar dan
belum mengeluarkan pensil, penghapus, dan pastinya kalkulator. Belajarku
semalam tidak sia-sia. Aku bi
sa mengerjakan soal-soal Fisika ini dengan mudah.
                Sekolah dibubarkan. Aku menerima
tawaran Kak Roisul untuk membantu mmbuat design spanduk dengan Firman. Hah
Firman? Yang benar saja? Firman? Laki-laki itu? Kenapa tiba-tiba aku ingin
dengan Firman? Ah!.
                Tapi aku tetap menuju kantor
Rohis. Firman? Laki-laki itu malah mendekati Rasika? Firman memberikan sepucuk
surat dengan amplop merah jambu gambar hati? Memeberikan bingkisan? Apa-apaan
ini? Si laki-lki belang itu sekarang berhasil merayu sahabatku. Tambahlah
kebencianku.
                “Rasikaaaaaaaaa” refleks aku
teriak dari jarak yang cukup jauh antara mereka berdua. Dengan sigap Rasika dan
Firman menengok ke arahku. Aku menutup mulut degan kedua tanganku dan langsung
lari. Kenapa aku begini? Kenapa hati aku
sakit melihat Firman dengan Rasika? Aku cemburukah? Apa karena aku tidak ingin
Rasika sakit hati dengan orang yang sama yang juga sudah menyakiti aku?
Entahlah.. sepertinya aku masih….masih…dengan Firman.
Aku masih berlari
bahkan sekarang air mataku jatuh secepat langkah lariku.
                Aku menyembunyikan diri di balik
batang pohon terbesar di sekolah. Aku masih terisak. Tanganku menutup mulut
berusaha agar suara isakan tak terdengar oleh siapapun. Di samping ada yang
memegang lembut bahuku. Dengan suara lirih “Sahidah”. Langsung aku peluk sosok
yang berada di sebelahku. Semenjak bertemu dengannya entah mengapa aku
mempercayakan pundaknya adalah tempat ternyaman setelah mamah.
                “Maafkan aku Rasika”
                “Maaf untuk apa sahabatku?”
                Aku hanya menggelengkan kepala
masih dalam keadaan aku bersandar di pundaknya.
                “kamu jangan salah faham ya
Sahidah. Yang diberikan Firman ini untuk kamu. Dia yang menitipkan ini lewat
aku. Kamu cemburu ya?” goda Rasika mencolek dagu menggodaku.
                “Aku gak bisa terima itu Rasika.
Aku gak mau terima apapun dari Firman. Laki-laki yang udah buat ku sakit hati.
Orang yang udah menghancurkan kepercayaan aku Rasika. Kamu kemabalikan saja itu
pada Firman”.
                Ada hal yang tidak ku sadari,
Firman berdiri tegak di belakang aku dan Rasika. Dia mendengar percakapanku
dengan sahabat baikku yang telah berpakaian lebih syar’i dariku.
                “Sahidah, maafkan aku telah
menghancurkan kepercayaanmu terhdapku. Saat itu aku benar-benar khilaf. Bukankah
manusia tidak ada yang sempurna Sahidah? Dan manusia tempat salah dan lupa.
Maafkan aku Sahidah”. Mata Firman erkaca-kaca.
                “Kamu ngapain di sini? Pergi
Firman! Memang manusia tidak ada yang sempurna, tapi kamu jauh dari kata
sempurna. Mulai sekarang aku gak mau lagi liat kamu”. Aku pergi meninggalkan
Firman yang mematug dan Rasika yang serba salah.
                Hujan sangat deras mengejar
langkahku. Teringat tadi pagi saat aku menitipkan salam lewat matahari bahwa
aku tidak akan pernah takut pada hujan. Tangan aku ulurkan untuk merasakan
setiap sentuhan hujan yang turun. Wajah aku arahkan pada langit. Ternyata kau berani menghadapku, hujan.
Aku masih berjalan di antara hujan. Aku melihat di antara hujan sosok laki-laki
dengan helm hijau berjaket kulit cokelat yang telah aku kenal. Itu Firman. Dia
hanya sekilas menatapku lalu pergi dengan cepat. Perasaan kesal mengkristal
dalam hatiku. Aku menangis di antara hujan. Aku percepat langkahku menuju
rumah. Sampainya di rumah terdapat sepatu hitam yang sudah tak asing lagi aku
lihat, Rasika. Ada apa dia datang ke rumah?.
                “Rasika?” tanpa salam aku masuk
ke dalam rumah.
                “Sahidah, kamu kehujanan?”
                “Aku sengaja”
                “Kamu cepat mandi dan ganti baju
ya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu”
                “He’em” dengan cepat aku mandi
dan pakai baju. Aku sediakan teh manis hangat dua gelas untukku dan Rasika.
                “Diminum tehnya ya. Oya, mau
ngomong apa? Jangan bilang tentang si laki-laki belang itu ya?”
                “Eh kamu gak boleh bilang
begitu. Dia sekarang udah berubah total Sahidah. Dia udah ikut Rohis . Kamu
pernah dapat surat di atas kursi kan, dia minta ketemu kamu? Itu suruhan aku
Sahidah. Dia cerita sama aku kalau dia mau minta maaf sama kamu. Dia
benar-benar menyesal dengan segala perbuatan yang udah dia lakuin ke kamu. Dia
mau ketemu kamu, padahal dia gak sendiri
, sama kakaknya, ka Roisul.”
                “Apa? Kak Roisul kakaknya
Firman? Kakak kandungnya?
                “Iya, kamu ke mana saja
baru tau ya?”
                “I…i…iyaaaa”
                “Firman juga banyak cerita ko ke
kak Roisul. Kak Roisul minta tolong sama aku buat ngebantu Firman dapat maaf
dari kamu. Kamu kabur waktu liat Firman di kelas sama Zakia dan Rahmikan
pagi-pagi? Mereka lagi bicarain soal acara Rohis. Kebetulan Firman sendiri,
padahal gak lama kak Roisul datang. Kenapa Firman gak kejar kamu? Karena dia
pengen jaga jarak sama kamu. Dia takut salah langkah kalu ngejar kamu. Jadi
Firman minta kak Roisul buat temuin kamu.”
                “Jadi Firman sudah bener-bener
berubah ya Rasika?”
                “Iya, dia juga mau ajak kamu
buat ikut Rohis. Ini suratnya kamu baca ya. Ini juga ada buku dari Firman. Ini
yang dia titip ke aku Sahidah”. Pipiku terasa hangat dengan air yang tak pernah
aku harapkan untuk datang.  Aku mengambil
surat dan bingkisan yang Rasika simpan di atas meja.
                “Terimakasih Rasika” aku
mendekati Rasika da memeluknya.
                “Kamu jangan su’udzon lagi sama
dia ya. Dia bilang mau minta maaf langsung. Tapi kamu selalu menghindar”.
***
                Malam menjadi saksi bisu. Surat
dan bingkisan di hadapanku. Aku termangu di dalam kamar yang tak begitu luas.
Aku ragu membuka surat dari Firman. Aku
harus menghilangkan rasa egoisku.
Pertama aku raih surat beramplop merah
jambu. Aku buka perlahan.
Assalamu’alaikum Sahidah.
Keadaan saat aku menulis surat ini, aku sudah dalam
keadaan lembaran baru. InsyaAllah aku sudah dalam keadaan hari yang baru saat
kak Roisul membawaku ke Rohis. Aku menemukan ilmu baru. Aku jadi banyak
menyadari bahwa sikapku dulu apalagi denganmu aku sangat menyesal. Maafkan aku
Sahidah. Aku tak mampu menatap wajahmu lagi. Aku ingin menjaga pandangan
denganmu walau aku pernah mencium tanganmu. Itu masa jahiliahku Sahidah.
Sekarang aku sudah sering mengikuti kajian-kajian Rohis.
Banyak ilmu baru yang aku dapatkan. Aku ingin mengajakmu sama-sama belajar di
Rohis. Aku senang me
lihatmu memakai kerudung
lebih tebal. Sudah berusha menjaga mahkotamu. Aku senang. Lebih baik jika kamu
lebih belajar untuk menutupi kekuranganmu dengan belajar lebih dalam  tentang Islam.
Maaf jika mengenalku tak seindah pelangi.
Aku hanya hujan bagimu yang membuatmu menangis degan
puas, sehingga saat kau menangis  tak ada
yang tahu derasnya air matamu.”
                Air mata membanjiri. Membuat
samudera rasa bersalah dalam hati. Luka terdalam yang pertama kali aku rasakan.
Menangis. Menangis. Malam ini aku larut dalam tangisan. Sunyi menjadi
saksi  dan bisu aku alami. Ingin rasanya
aku berlalri dalam bayangku unutuk menghampirinya dan aku  mengatakan betapa menyesalnya diriku pernah
tak peduli denganmu.
                Aku membuka bingkisan. Sebuah
buku yang menarik untuk dibaca. Judulnya yang indah. “Ketika Cinta Datang Belum
Pada Waktunya” dan buku kecil berisi do’a-do’a Rasulullah untuk pagi dan
petang, Al-Ma’tsurat. Terimakasih Firman,
aku percaya kamu sekarang sudah berubah.
Perlahan aku buka lembar demi
lembar buku yang Firman berikan. Malam ini aku belum sanggup untuk membaca
buku. Mataku sembab bahkan pegal rasanya. Aku baca ulang surat Firman. Diulang
hingga lebih dari lima kali. Entah perasaan apa ini aku tak mengerti.
                Paginya aku sediakan kerudung
tebal putih, bukan lagi paris yang di jadikan dua lapis. Kerudung tebal putih
yang sudah lama Rasika beri baru pertama kali aku pakai. Dengan lafadz
Bismillaah aku pakai kerudung yang jauh lebih panjang. Aku cium pipi mamah
sebelum berangkat sekolah. Sambil berjalan menuju sekolah aku baca al-ma’tsurat
pemberian Firman. Aku nikmati perjalanan dengan diiringi bacaan al-ma’trusat
terasa ringan langkah ini. Baru kali ini aku merasakan ada yang berbeda dalam
hatiku seperti ada cahaya iman yang datang.
                Aku menyimpan tas di atas kursi.
Lagi-lagi aku datang ke sekolah setengah jam lebih awal. Aku memutuskan  pergi ke musholla untuk shalat duha. Sepanjang
perjalanan menuju musholla aku hanya menundukan wajah. Tak hentinya berdzikir.
Aku mengambil air wudhu lalu shalat. Selesai shalat aku mendengar suara
laki-laki yang tak asing lagi memaca bacaan yang aku baca tadi pagi,
al-ma’surat. Aku mengintip lewat kain hijab berwarna hijau. Aku perhatikan
dalam-dalam. Firman…aku memanggl
dia dengan volume yang sangat kecil. Firman meliht ke arahku. Aku hanya berdiam
kaku saat Firman menghampiri.
                “Sahidah. Kamu di sini juga?
Sahidah jangan pergi dulu aku mau bicara.”
                “Aku sudah memaafkan kamu. Aku yang
seharusnya minta maaf. Kamu gak perlu lagi minta maaf Firman”.
                “Tapi Sahidah, aku banyak salah
sama kamu. Aku gak mau lagi nyakitin hati kamu.”
                “Apa kamu masih sayang sama aku
seperti dulu Firman?”
                “Aku tidak ingin mengatakan itu
Sahidah. Aku takut memberikan bekas yang pahit jika kamu kenang. Aku takut
hanya memberikan harapan”. Perkataan Firman membuat aku luluh. Seperti es batu
yang terkena cahaya matahari, meleleh. “Aku gak mau lihat kamu sedih. Tolong
jangan kamu perlihatkan air matamu depanku Sahidah”
                “Firman, aku masih…”
                “Sudah Sahidah jangan katakan
itu. Jadilah akhwat yang selalu belajar menjadi sempurna agar kamu bisa
mendapatkan ikhwan sempurna yang kamu harapkan. Aku juga sedang berusaha untuk
itu. Kita sama-sama menyempurnakan diri ya Sahidah.”
***
                kesempurnaan itu hanya milik Allah,bukan? Egois jika aku hanya
mempertahankan bahwa aku ingin mendapatkan seseorang yang sempurna.
Kesempurnaan manusia itu terbatas. Jika aku memperbaiki diri mka jodoh yang
Allah siapkan juga sedang memperbaiki diri. Entah siapapun itu. Tapi, bolehkah
aku mengira bahwa itu dia?
               
Sarah Muthi’ah Widad
#MotivaWriter

 

Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »