Mengharapkan Senyuman

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
AR-SA

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Sejak empat tahun yang lalu aku mengenal dia sebagai sosok yang
ceria. Semua pandangan terhadap dia pasti selalu baik. Senyum yang merekah dari
bibir dia adalah gambaran suasana hatinya. Di kelas, menurutku hanya dia satu-satunya
orang yang tak pernah mengeluarkan air mata. Entah karena tidak ada yang
membuatnya sedih, ataukah menutupi kesedihan. Selain kegembiraan yang menghiasi
dirinya, juga tutur kata yang baik. Aku meyakini itulah dirinya.
            Aku dianggap
sahabat baiknya, hari-hari kujalani dengan dia selalu. Orang bilang aku dan dia
seperti perangko. Jika ada aku, pasti dia ada. Tidak hanya aku, dia juga
mempunyai sahabat yang telah dijanjikannya akan setia. Tapi aku tidak
menganggap sahabat dia adalah sahabatku walau aku dan dia juga bersahabat.
Bukankah sahabat butuh proses yang lama ? bukan hanya sekedar lisan yang
menyatakan ‘sahabat’.
            Dia memberikan
kenyamanan kepadaku, dan menjanjikan kesetiaan persahabatan. Aku terhanyut
dengan janji-janji dia sehingga menganggap dialah satu-satunya teman yang
selalu ada dalam suka dan duka. Aku juga satu perjuangan dengan dia. Satu
organisasi, dan satu bakat. Jika ada lomba di manapun, aku dan dia yang
bersemangat mengikuti dan terus mengurus perlombaan ke sana-kemari. Bahkan aku
dan dia seperti satu keluarga.
            Beriringnya waktu,
senyum yang merekah menjadi hambar bagiku. Aku memiliki komitmen untuk tidak
mengikat janji dengan laki-laki. Aku berusaha menjaga kesucian hati dengan
tidak tergelincir dengan cinta yang semu. Dia tahu prinsipku ketika itu. Dia
jatuh cinta, sehingga aku tidak tahu pada siapa dia jatuh cinta. Bukan aku yang
dipercaya menjaga rahasia perasaannya, tetapi sahabat lain yang dia anggap
nyaman untuk menceritakan apa yang dia rasakan. Sering setelah suatu kejadian
aku  mengetahui siapa orang yang bisa
membuat dia jatuh cinta, aku melihat dia bersama sahabat yang lain sehingga
membuat aku cemburu. Aku sering dibuat cemburu oleh dia.
            Suatu ketika aku
janjian dengan dia. Kita bertemu di sekolah jam delapan pagi. Selama
diperjalanan tak putus aku berkomunikasi dengan dia lewat sms. Setelah aku
sampai di sekolah, dia bilang lagi nunggu angkot, jadi aku harus menunggu
beberapa menit. Tidak lama kemudia dia datang dibonceng laki-laki yang juga
ternyata memiliki rasa yang sama dengan dia. Perasaan sedikit kecewa aku
terhadap dia, tapi aku memaklumi karena memang susah menemukan Angkot di daerah
rumahnya. Kejadian seperti itu aku kira hanya satu kali, tetapi berulang kali
dengan kejadian yang berbeda-beda tapi kasus yang sama, dengan laki-laki itu.
Bukan berarti aku cemburu dengan laki-laki tersebut, namun karena dia telah
memudarkan prinsipnya. Dia pernah bilang tidak akan dekat dengan laki-laki
sebelum menikah.
            Semakin
berjalannya waktu, aku memahami kebiasaan baru dia, curhat dengan sahabatnya.
Hingga suatu saat aku dikecewakan olehnya. Dia bersembunyi di balik aku, hingga
berbohong untuk menutupi kesembunyiannya. Senyumnya kini berbeda. Senyum yang
menutupi kebohongan. Aku bisa membaca senyum dari matanya. Mata tak bisa
berbohong. Ketidak tulusan melukiskan gambaran hatinya. Hilang chemistry
aku dan dia. Terasa jelas saat kita bersalaman berpegangn tangan. Tak ada lagi
aliran cinta yang ditransfer dari celah-celah jarinya. Tapi dia masih
menganggapku sahabat. Namun sayangnya, aku anggap hanya secara de facto,
tapi tidak secara de jure.
            Aku ingin
mengungkapkan apa yang aku rasakan. Perubahan dari dia yang membuat luka dalam.
Aku sudah merangkai beribu kata, sudah menerka beribu kemungkinan yang
terlontar dari mulutnya. Tapi tak satupun langkah yang aku lakukan dari beribu
rencana. Beribu lembar kertas menjadi korban perasaan. Caci maki diri tak
pantas terucap.
            Memang aku sadari
aku berlebihan menanggapi masalah ini. Tapi memang benar, aku mengharapkan
senyum yang merekah tulus darinya seperti dulu. Tapi biarlah, sekarang aku
menyadari bahwa dia memiliki kehidupan yang baru yang rasanya tak pantas aku
tahu. Senyum yang keluar dari bibirnya biarlah sesuka hatinya berekspresi. Aku
akan baik saja dengan senyum-senyum yang lebih tulus di luar sana. Setidaknya
senyum dia telah member warna dihidupku. 
Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »