Perjalanan untuk Pilih Bicara

Aku berada di ruang tengah rumah. Duduk di kursi kayu setengah kokoh.
Jika begerak sedikit membenarkan posisi duduk terdengar “krekeeek”.
Rupanya kursi kayu minta diistirahatkan. Tapi entahlah, sang pemilik
memaksakan untuk tetap digunakan.

Ini pukul dua siang.
Kulihat ke arah jendela, masih sama. Pohon belimbing tersipu angin.
Daun-daunnya bergerak syahdu. Aku mengenduskan napas. Punggungku semakin
bersandar pada kursi kayu kesayangan Ayah. Aku menatap pas foto yang
berada 100 derajat dari sebelah kanan posisi dudukku. Ada Ibu, Ayah, dan
kedua saudara perempuanku. Aku tersenyum mengikuti bentuk bibirku yang
merakah di foto yang terpampang. “Ayah..” panggilku lirih dalam hati.

“Tok..tok..tok..”
dengan cepat aku mengalihkan pandangan kembali ke jendela. Tepat
sekali, aku sangat menunggunya datang. Aku melambaikan tangan ke
arahnya, menutup buku yang kubaca dua jam lamanya, dan bergegas ke luar
rumah menemuinya.

“Hai, Va. Sekarang waktunya kamu
belajar dari kenyataan yang ada. Setelah kamu belajar dari literasi yang
kamu baca.” Aku mengangguk penuh semangat. “Asik, ini akan menjadi hal
yang seru!” Gumamku dalam hati. Ia memegang tanganku erat. Membawaku
berjalan menyusuri gang kecil perkampungan.

“Lihat,
Va,” katanya sambil menunjuk laki-laki setengah baya yang memakai kaos
dalam putih dan celana pendek. “Dia adalah teman kantorku yang di PHK
akibat pabrik sudah menggunakan mesin dan pengurangan tenaga kerja,”
lanjutnya.

“Itu anaknya?” Tanyaku. “Benar, itu anaknya.
Kau perhatikan anak kecil itu kurus dan kering setelah bapaknya kerja
serabutan.” Aku memandang lamat-lamat seorang Ayah dan anak laki-laki
kecilnya sedang bermain. Si Ayah sibuk dengan aktivitas pembakaran benda
kecil penghasil asap.

Tanganku kembali digenggam dan 
kembali berjalan. Kini aku berhenti di depan warung yang tidak jauh dari
sekolah. “Kenapa  mengajakku ke sini?” Namun, ia hanya terdiam
menatapku tajam dan mengangkat kedua bahunya.

Aku
memperhatikan warung yang terdapat spanduk rokok  di atasnya. Tidak lama
kemudian, segerombolan anak yang masih memakai seragam SMP menghampiri
warung tersebut. Mayoritas adalah anak laki-laki. “Apa yang mereka
lakukan?” Aku bergumam. Mereka mengumpulkan uang receh dan beberapa
lembar uang kertas dua ribuan. Setelah memberikan uang kepada penjual,
mereka mendapatkan sebungkus rokok. Orang di sampingku merangkul bahu
dan tersenyum.

“Jadi aku belajar apa? hanya diajak
menyusurui jalan dan sekarang ke warung?” Tanyaku penasaran. “Apakah
kamu melihat hal yang tidak beres selama perjalanan ini?” ia balik
bertanya. Aku menggeleng kepala tanpa sepatah kata dari mulutku. Rasanya
aku ingin pulang saja meneruskan duduk di kursi kayu membaca buku.

Sekarang
aku berjalan di belakangnya. Berjalan dengan tangan terlipat di atas
dada. Mata menyeringai sinis sambil mulut tidak berhenti menggerutu.
Panas sekali siang ini.

“Apa lagi ini? Menunggu
angkutan umum? Mau ke mana lagi? Ah, membosankan!” batinku. “Ayo, Va kamu duluan masuk mobil,” ia mempersilakanku masuk ke dalam angkutan
umum hijau yang tidak terlalu ramai penumpang.

Di dalam
mobil, ada seorang ibu menggendong anak kecil. Di sampingnya pemuda
yang asik mengembang kempiskan dadanya menikmati setiap hisapan dan
hembusannya. Aku refleks menutup hidung mengamankan agar tidak ada asap
yang masuk ke dalam tubuhku. Ibu yang berada di hadapanku
mengibas-ngibaskan tangan melindungi anaknya dari asap.

“Kiriiiii”
“Ayo
kita turun di sini.” Aku keluar dan berdiri lesu menunggunya membayar
ongkos. Ia kembali meraih tanganku dan mengajakku kembali berjalan ke
suatu jalan yang sepi. “Kamu ingat tempat apa ini, Va?” Ia kembali
angkat bicara tetapi aku hanya menggelengkan kepala.

Aku
melihat sekeliling. Di depan pandanganku jalan yang lebih luas dari
gang perkampungan yang sebelumnya kami telusuri. Tapi jalannya penuh
bebatuan dan beberapa berlubang. Ada pohon mangga, pohon pisang,
rerumputan, ilalang, dan pohon sepatu dengan bunganya berwarna merah
cerah. Ada pagar kayu juga yang membatasi suatu lahan khusus.

“Kamu
ingat tempat ini, Va?” Ia kembali bertanya. Aku terdiam, seperti ingat
sesuatu. Suaranya kali ini mengecil. Aku melihat wajahnya berubah pucat
pasi. Kali ini tidak angkat suara bukan karena kesal, namun rasanya tak
sanggup membuka mulut. “Pelajaran apa yang kamu dapatkan hari ini, Va?” Ia memecahkan lamunanku. Suaranya semakin kecil. Lidahku semakin kelu
dan kaku seperti ada yang mengikat sangat kuat.

Tiba-tiba
saja kakiku bergemetar sangat dahsyat. Keringat membanjiri leher dan
rahang atasku. Terasa aliran keringatnya sampai punggung. Lawan bicaraku
berjalan tanpa memegang erat tanganku lagi. Ia berjalan melewati pintu
kayu yang terbuka. Aku berlari kecil mengikuti langkah kakinya. Lariku
semakin cepat dan keringat semakin deras membasahi bajuku. “Tunggu!” Teriakku. Tetapi ia tak berhenti berjalan. “Tunggu!” Teriakku lirih
bercampur bibir yang bergemetar menahan tangis.

“Ayah..
aku mengerti. Aku mengerti, Ayah!” Ucapku. Sosok laki-laki di depanku
membalikkan tubuh tersenyum begitu hangat seperti senyum pada pas foto
di ruang tengah. “Ayah, aku akan berhenti membisu, Ayah,” lanjutku.

Ayah
tidak bersuara sedikitpun. Ia menghilang dari hadapanku secepat kedipan
mata. Sekarang, yang berada di hadapanku adalah tanah merah dibubuhi
bunga yang semakin mengering serta berdiri papan kayu terukir nama Ayah.

“Ayaaaaaaaah”
aku menangis penuh sesal. Ada sesak dalam dada. Seperti ada dendam
menggumpal dalam hati. Aku terbangun dari tidur. Pegal sekali tertidur
di kursi kayu tua ini. Aku kembali membenarkan posisi duduk. Di atas
pahaku masih ada buku yang menemaniku menunggu ibu pulang kerja.

Pipiku
basah, ternyata banjir air mata. Aku mengusap dengan telapak tangan.
Mimpi bertemu Ayah membuat aku menangis seperti ini. Rindu sekali
rasanya. Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Tidak lama
aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Aku melanjutkan baca
buku pada lembaran yang terbuka.

“Menteri Kesehatan
menggagalkan penerbangan ke Jenewa, Swis pada tahun 2003  untuk
menandatangai perjanjian FCTC karena kondisi politik yang memanas di
akhir kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.”

“Va, Kamu kok gak sambut Ibu pulang?”
“Eh, Ibu sudah pulang.” Aku meletakkan buku di atas meja langsung memeluk ibu dan dibalas dengan pelukan hangat.

“Ibu,
apakah kanker yang diderita Ayah karena rokok?” Tanyaku pada Ibu masih
dalam pelukannya. Ibu tidak menjawab, ia membalas dengan mengelus
kepalaku. Aku samakin menangis.

Hari menjelang malam.
Aku hendak menutup pintu kamarku lalu membuka buku harian dan pulpen merah bertinta hitam. “Aku pilih bicara” tulisku pada lembar
kosong. Pelajaran dari mimpi siang tadi sangat jelas sekarang. Rokok
adalah masalah yang dianggap biasa oleh masyarakat. Benar kata Ayah,
buku Giant Pack of Lie yang aku baca harus direalisasikan dengan
tindakan. Kenapa tadi aku memilih diam? Sungguh aku menyesal.

Share the Post:

2 Responses

  1. Inisiatif hanya dimiliki oleh org yg peduli dia memiliki naluri kasih, mari menjadi org yg senantiasa berinisiatif, menebar kebaikan dengan rasa sayang

  2. Inisiatif hanya dimiliki oleh org yg peduli dia memiliki naluri kasih, mari menjadi org yg senantiasa berinisiatif, menebar kebaikan dengan rasa sayang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »