Terjawab oleh Waktu

Tiga tahun lamanya kita saling mengenal dan selalu berbagi. Dekat dengan rasa saling suka.
Berasas sahabat dari menjurus kisah cinta. Dibilang kisah cinta, tak ada perjanjian untuk pacaran.
Membingungkan memang.

Seseorang itu memberikan banyak catatan dihidupku. Lamanya perjalanan waktu menjadi dialah buku diary. Hampir masalah yang aku alami dia ketahui. Jatuh bangunnya aku, dia menjadi saksi.
Akupun pernah menjadi sosok motivasi untuknya. Akupun menjadi tempat keluh kesah, berbagi kebahagiannyanya. Kita seperti layaknya keluarga.

Aku menanggap dia kakak, begtupun aku adiknya.
Aku menjadi seorang adik yang layaknya adik. Manja, berkeluh kesah, ya begitulah. Untungnya dia sosok yang baik hati. Kadang aku diberi peringatan keras agar mampu bertahan.

Awalnya kita selalu berharap agar terus bersama walau tanpa ikatan apapun. Kita saling menghargai, mendukung, dan percaya. Sms setiap hari. Pernah hilang kontak tapi kembali lagi. Tak jarang bertengkar karena aku sering menganggap masalah kecil menjadi besar. Aku yang tipe pencemburu. Rasanya aku banyak salah. Sering menyusahkan, walau dia tak pernah katakan itu, tapi aku merasa demikian.

Banyak kejadian yang aku alami dengannya menjadi suatu pelajaran berharga untukku.

Dulu, rasanya aku sangat dekat dengannya walau waktu kita untuk bertemu serasa sulit. Kita selalu komunikasi lewat sms. Itu dulu.

Beberapa bulan belakangan ini aku merasa kehilangan sesuatu. Sesuatu yang aku punya hampir tiga tahun lamanya. Aku pikir ini hanya sementara, untuk saling fokus menghadapi ujian. Aku pikir begitu. Beberapa hari yang lalu aku menanyakan perihal ini padanya.

Kita memang tak pernah diikat janji untuk selalu bersama (pacaran), tapi aku merasa berbeda saat jauh. Aku bingung dengan hubungan ini. Jika tidak memberi kabar serasa kehilangan. Tapi rasanya untuk berontakpun tak pantas.

Dia ingin sendiri. Itulah jawaban darinya.
Sendiri? ya akupun sendiri.
Sedikit aneh dengan perkataan itu.
Aneh karena hubungan yang tak jelas. baiklah, aku hargai keinginannya.
Akupun berpikir memang sepantasnya aku dan dia sekarang berjalan sendiri-sendiri. Entah perasaan yang dulu masih ada atau tidak, tetap aku yakin Alloh merencanakan sesuatu yang indah untuk aku, juga dia.
Entah,aku meragukan hati ini. Aku bilang tak masalah dengan keputusannya, tapi air mata berlinang begitu deras. Serasa hati dan pikiran tidak sejalan.

Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »