Tidak Lebih Buruk dari Monyet

Aku pernah minta pekerjaan ke Allah melalui doa yang kira-kira begini isinya: 

“Ya Allah, aku butuh pekerjaan yang masih bisa kasih aku kesempatan untuk menjalani apa yang aku suka. Butuh pekerjaan yang masih kasih kesempatan buat belajar banyak hal. Gak berhenti belajar. Kasih kesempatan buat aku, dapat kerjaan yang masih punya banyak waktu untuk interaksi dengan Al Quran.”

Doa itu aku contek dari Teh Farah Qoonita, yang minta ke Allah waktu khusus untuk menghafal Al Quran tapi bisa kerja dan finansialnya terpenuhi. Kemudian beliau bekerja di LSM yang bergerak di isu Palestina. Dunia yang beliau geluti sejak  semester akhir, bahkan skripsinya pun membahas tentang Palestina.

Nah, aku mau cerita proses sampai akhirnya bertemu pada jodoh pekerjaan yang semoga ini pilihan terbaik dari Allah.

Belum genap sidang skripsi, aku udah galau mikirin bakal kerja apa. Ummi udah ancang-ancang buat cari channel sekolah agar aku bisa melamar menjadi guru. Beberapa malam aku buka website sekolah rekomendasi Ummi sambil membayangkan apa yang bisa aku lakukan saat menjadi guru. 

Beberapa malam juga aku mempersiapkan berkas seperti sertifikat juara lomba menulis esai, kontributor buku antologi, cerdas cermat, penghargaan menjadi narasumber di beberapa kegiatan kampus dan luar kampus, dan keikut sertaan dalam pelatihan-pelatihan.

Ummi memeriksa semua berkas. Ummi bilang aku bisa jadi guru ekskul, karena lampiran sertifikat kemampuan non-akademik, gak ada yang berbau-bauk kimia seperti olimpiade atau semacamnya. Aku setuju dengan rencana Ummi dan coba kubayangkan saat aku harus mengajar pelajaran di kelas sekaligus menjadi guru ekskul di luar jam pelajaran. Lumayan seru!

Aku mengirim surat lamaran mengajar di dua tempat. Pertama sekolah Islam yang benefit di Kota Bogor. Aku mengikuti proses seleksinya sampai tahap micro teaching dan menunggu untuk tes wawancara. Karena mempertimbangkan jarak yang cukup jauh dari rumah, Ummi memintaku untuk memasukkan berkas lamaran ke sekolah Islam yang sangat dekat dengan rumah, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di sekolah kedua ini, aku sudah melalui tahap tes hafalan Al Quran, psikotest, dan wawancara. 

Pengumuman yang pertama aku dapatkan justru dari sekolah kedua. Aku diminta hadir langsung rapat guru untuk mempersiapkan pembelajaran tahun ajaran baru di tengah pandemi. Hari pertama aku masih mengikuti. Esok harinya aku harus izin tidak masuk ke sekolah karena sidang skripsi. Hari ketiga, aku datang ke sekolah dengan berat hati. Entah mengapa sungguh berat. Aku menahan sesak di hati sepanjang perjalanan menuju sekolah.

Rasa tidak nyaman ternyata mengusikku. Saat ada pelatihan untuk guru, aku justru gak bisa mengikuti dengan baik. Beberapa kali aku keliru. Hingga keesokan harinya aku nangis setelah subuh, ngadu ke Allah kalau aku gak mau ngajar di sekolah. Uring-urungan sampai Ummi capek mungkin menghadapi anak kayak aku gini hehehe. Akhirnya dengan berat hati Ummi bilang, “Kalau kamu kayak gini mending kamu berhenti aja, kamu tinggal bilang.”

Aku memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah. Harus memberikan keputusan yang cepat, sebelum proses belajar mengajar dimulai. Tapi, tentu yang tidak heran adalah kembali galau. Terus aku kerja apa? 

Monyet aja gak mau  melompat sebelum dapat dahan pohon buat gelantungan. Yah, aku justru belum tau mau ke mana udah melepas aja. Apakah nyaliku lebih ciut dari monyet? Ya Allah sedih amat!

Satu hal. Aku keluar dari sekolah karena ada lowongan pekerjaan di salah satu organisasi dengan isu yang ingin aku geluti. Padahal prosesnya masih panjang. Belum tentu juga keterima. 

Aku mencoba merapikan beberapa berkas. Hingga larut malam aku persiapkan CV terbaik. Konsultasi ke temanku yang sudah lebih dulu kerja di sana. Diberi tips wawancara, ngobrolin pekerjaannya, dan sebagainya. Rasanya terlalu percaya diri bisa diterima, ya.

Menunggu beberapa lama. Sebulan. Aku merasa sehari berubah menjadi 48 jam. Doaku melemah. Jiwaku sempoyongan. Tidur saja jadi tidak beres. 

Sebulan berlalu, belum saja dapat email untuk panggilan wawancara. Aku bertanya pada temanku. Tapi, rupanya yang ia tahu, wawancara sudah selesai dilakukan. Lemes banget. “Oke, mungkin bukan di sini.”Ucapku membesarkan hati. 

Ibadahku sedikit demi sedikit diperbaiki. Mintaa maaf ke Allah karena kemarin sangat lalai. Terlalu berharap pada selain-Nya.

Tidak pernah terpikirikan, seniorku di salah satu komunitas pengendalian tembakau menghubungiku menanyakan kabar teman-teman komunitas, karena beliau adalah salah satu founder. Aku dan beliau ngobrol lewat video call. Sudah lama tak jumpa, ditambah pula beliau pindah ke luar kota. 

Di akhir pembicaraan kami, beliau bilang: “Sebetulnya kalau teman-teman muda yang sedikit demi sedikit lepas itu wajar karena mereka pasti udah nemuin kehidupannya. Kalau aku masih aktif di sini, ya karena aku kerja dapet gaji di sini.” (hatiku tiba-tiba dag dig dug gak karuan). “Oh iya bener ya, Mbak.”

“Yaudah kamu gabung sama kita aja, yuk! Pekan ini kita mau ada open buat magang. Siapatau kamu bisa jadi staf tetap di sana.” Jujur aku meleleh. Tapi berusaha untuk di tahan jangan sampai terlihat sama Mbak senior hehe. 

Dua pekan setelah kami video call, beliau kirim poster persyaratan untuk magang di organisasi tersebut. Ternyata, hikmah aku melamar kerja di organisasi sebelumnya di sini. Aku gak perlu lagi repot-repot merapikan CV, karena masih pada isu yang sama, aku bisa langsung kirim. Bismillah teriakku kencang-kencang. 

Beberapa hari setelah kirim CV, aku dihubungi oleh HRD untuk menentukan waktu wawancara online. HRD-nya baik banget. Keibuan. Aku tenang banget ngobrol sama beliau. Bahkan bukan seperti wawancara kerja. Bisa tertawa lepas, cerita aktivitas #AksiKebaikan di UIN Jakarta.

Alhamdulillah aku lolos untuk magang selama lima bulan di sana. Menjalani pekerjaan yang seru. Banyak belajar, kenal orang-orang baru, dan masih banyak lagi. Hal yang paling berkesan adalah saat aku dilibatkan untuk membantu terlaksanakanya kampanye di depan Kementerian Kesehatan.

Lima bulan berlalu. Akhir Januari kami melakukan coordination meeting di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Hari itulah, aku melanjutkan menjadi staff tetap di organisasi ini. Alhamdulillah.

Malam hari di hoel, aku mengerjakan tugas laporan untuk dipresentasikan besok paginya. Setelah merasa cukup untuk malam itu, aku melihat langit-langit kamar dan bertanya, “apakah pekerjaan ini yang sesuai dengan doaku yang kuminta ke Allah?”

Pertanyaanku tidak langsung terjawab malam itu. Aku terlalu lelah dan tertidur.

Hari demi hari kujalani menjadi junior di tempatku bekerja. Beban pekerjaanku bertambah dari waktuku magang. Tetapi aku sangat menikmati. Kemudian aku menemukan jawaban pertanyaanku saat di hotel malam itu.

“Ini adalah jawaban dari Allah. Aku banyak belajar yang aku suka di sini. Aku lebih banyak belajar daripada bekerja. Aku masih bisa melanjutkan menuntaskan buku. Waktu bekerja di rumah juga memudahkan aku untuk mengalokasikan waktu untuk banyak berinteraksi dengan Al Quran dan ikut kuliah online, belajar tentang Islam.”

Kemudian aku pun berpikir. Aku tidak lebih rendah dari monyet yang nekad tidak punya dahan loncatan. Justru itulah kelebihan manusia yang punya keberanian dan keyakinan pada Tuhan.

Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »