Kalau Allah Kasih kesempatan buat mengisi acara, artınya Allah ingin aku banyak belajar lagi dan sebagai ajang pecutan aku untuk memantaskan diri dengan tema-tema yang terkait. Misalkan di akhir Januari lalu aku mengisi di acara kemuslimahan yang membahas bagaimana peran perempuan di era digital. Aku baca buku Buya Hamka tentang pandangan beliau terhadap perempuan. Lalu lanjut, kubaca karya Buya Hamka yang berjudul Pribadi Hebat.
Tawaran mengisi acara datang selang beberapa pekan setelahnya. Agenda kedua di awal tahun ini membahas mengenai dunia pendidikan; bagaimana pengalaman saat di dunia perkuliahan, memaksimalkan waktu untuk upgrade diri selama kuliah, hingga pasca kampus. Dan lagi, aku merasa ‘pas’ banget dengan buku yang aku baca di waktu tersebut.
Dari dua pengalaman mengisi acara, aku sadar betul tantangan masa kini sungguh berat. Masih banyak orang di luar sana yang berada di titik bingung, entah bersumber dari masalah personal, keluarga, maupun lingkungan pergaulan.
Tulisan ini muncul Karena ter-trigger salah satu penanya di Student Fest 2024 yang diselenggarakan oleh Yayasan Fortuna. “Apa yang membuat Kak Sarah bisa melalui Ujian Nasional di tengah kondisi orang tua yang bercerai?”
Aku tidak pernah bermaksud menjual kesedihan agar dapat engagement tingggi. Sampi di titik ini, elhamdulillah aku sudah menerima dan berdamai dengan keadaan, bahkan sudah melampaui penyesalan dan dendam.
Tahun 2015 memang menjadi titik balik aku buat jadi seorang yang mandiri. Mungkin juga menjadi titik berjuang bagi saudara kandungku dan juga orang tuaku.
Saat takdir mempertemukan realita bahwa orang tuaku bercerai, lalu kondisi ekonomi kami yang begitu sulit, aku harus menyeselesaikan Ujian Nasional tingkat SMA, kemudian menyalurkan tekad kuatku melanjutkan kuliah.
Satu hal yang paling aku syukuri dari proses penerimaan ini adalah, Allah masih menjaga aku dengan diberikan hidayah dan taufik-Nya untuk menjadi orang ‘baik’. Peluang jadi anak yang membangkang selalu ada. Peluang menjadi orang kufur nikmat sangat terbuka lebar. Tapi berkat orang-orang baik nan tulus dengan segala doa, Allah selamatkan hingga masuk universitas melalui jalur undangan dan mendapat beasiswa.
Sebelum dapat beasiswa Bidikmisi, hidup di tengah perkuliahan berasa ditangguhkan. Aku berjualan pastel, donat, dan mengajar private untuk mencukupi keperluan hidup. Untuk menjawab kenapa bisa melawatinya? Bantuan Allah. Rasanya gak ada lagi hal yang bisa aku sampaikan selain takdir Allah sebagai ujung dari hasil ikhtiar manusia.
Peluang pengharapan ke manusia itu ada, peluang mengemis pastilah besar. Tapi, atas kebergantungan kita kepada Allah, maka Allahlah yang kirimkan bantuan. Lewat manusia yang Allah titip rezeki kepada mereka. Allah titip hidayah kepada hatinya untuk mencukupkanku. Lalu rasa yang Allah sadarkan agar aku tidak menjadi benalu keluarga adalah menjadi alasan utama.
Maka tahun 2015, menjadi waktu mulainya hidupku hingga seperti sekarang ini. Jika kukumpulkan dots selama hidup, akan terbentuklah garis yang kutapaki hari ini. Lalu aku menyadari akan besarnya tugas pendidik dengan segala maknanya. Untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terombang-ambing dari kerasnya realita, apalagi latar belakang keluarga yang beragam, gak semua mendapatkan kebahagiaan dan kehangatan. Maka akan ada banyak ruang kosong pada jiwa, yang butuh asupan cinta.
Maka, tugas besarnya adalah menjadi pendidik yang bisa mengisi ruang-ruang hampa itu dengan sesuatu yang melengkapi fitrah. Menjadi hamba yang siap dengan tantangan hidup, yang siap dengan ujian, sehingga tidak tercipta jiwa-jiwa yang mati di tengah masyarakat.
Jika ada kesempatan mendengar, aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik. Bagaimana aku mencoba menangkap sinyal apa yang hendak mereka berikan padaku. Lewat sebuah penjelasan, juga pertanyaan.
Aku yakin, atas kesulitan hidup yang pernah aku jalani, Allah titipkan pesan. Begini kira kira bunyinya, “Sarah, kamu hadapilah ujian ini, agar mampu kau sampaikan pesan yang aku titipkan padamu.”
Jika memang ini kehendak Allah, aku rela.