Status julid ketika Debat Cawapres yang ada di postingan sebelumnya mengundang banyak komentar teman-teman terutama dari salah satu Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Jakarta.
Oya, sebelumnya juga aku dikasih tau teori Ekonomi Zombi yang dikaitkan dengan industri rokok. Jadi begini, teman-teman. Karena aku bukan ahli di bidang ekonomi, jadi langsung aku ceritain hasil obrolan aku sama temanku yang bahas tentang Ekonomi Zombi, ya. Kalau ini bukan sama anak FEB, tapi teman di Smoke Free Agents yang ia juga belajar soal ekonomi.
Industri rokok itu, parah keren; duitnya banyak. Jadi sponsor berbagai acara anak muda kayak konser musik, sponsorin acara olahraga badminton atau sepak bola. Bahkan, banyak pemuda yang sangat berterima kasih pada industri rokok karena biaya pendidikannya ditanggung mereka.
Anak muda yang menikmati fasilitas yang disodorkan industri rokok tanpa sadar otaknya tercuci. Sedikit demi sedikit, mereka masuk ke jeratan sang diktator. Ya, seperti zombi. Temen-temen taukan? Zombi itu jalan gak pake pikirannya, jadi ya dia jalan aja terus tanpa sadar.
Ih, serem gak sih kalau anak muda Indonesia jadi kayak zombi? Mereka menikmati alunan musik saat konser yang dibiayai industri rokok, mereka ke luar negeri dibiayai industri rokok, “Wah ke luar negeri keren, donk!”, mereka jadi iklan berjalan industri rokok saat mengikuti pelatihan badminton miliki industri rokok, dan ah! Masih banyak lagi. Tanpa sadar mereka sedang dijerat untuk jadi pionir yang akan membela industri rokok kelak saat industri rokok terancam punah.
Nah, balik ke diskusi aku bersama salah satu Mahasiswa FEB UIN Jakarta.
Pertama dia balas salah satu status WA aku:
“Hmm, lebih lucu lagi mereka yang mengatakan rokok itu gak haram dan para sesepuh atau pengikutnya dengan enteng merokok saat khutbah Jumat, tebar asap di mana-mana sampai sebelum selesai khutbah pas mau salat mereka baru kelar ngerokok”
Sedih, donk dapet kabar kayak gini.
Kalau ustaznya merokok, murid-muridnya pasti ngikutin. Itulah kasiannya. Mereka berdakwah sambil tebar penyakit.
Ada pengalaman temannya yang cerita kasus di pesantren. Pondok pesantren dapat kucuran dana CSR baik untuk pondoknya atau kegiatan santri lainnya. Yang sangat disayangkan adalah CSR itu dari Industri Rokok, bahkan banyak santri yang mendapatkan beasiswa.
“Syarat gak langsungnya sih, disuruh ngelegalin penjualan rokok di pondok, Sar. Atau dikasih wejangan kalau sesepuh mereka merokok berarti jadi panutan dan dicontoh.” Astaghfirulah.
Seiring berjalannya waktu, lanjut ia bercerita. Ponpes akan semakin besar dan banyak santri bikin ponpes lagi, dan di situlah rokok mendarah daging. Karena rokok tetap sebar dana CSR buat sekalian jejalin produk rokok ke ponpes, hal tersebut sudah jadi lumrah.
Ketika ada santri dari kota yang nyantri di ponpes dan pulang merokok maka pandangan orang-orang akan: “Oh, di ponpes gak masalah kok merokok, toh kiyainya juga gak ngeharamin.”
“Panutan orang kota soal agama pasti anak anak yang dari ponpes kan, Sar?” Iya juga sih, bisa jadi.
CSR sudah menjadi hal lumrah di bidang ekonomi. Di mana CSR dipakai untuk kegiatan promosi produk.
“Ibaratnya gini, Sar” dia lanjut berbicara. Contoh kecilnya misal sebut saja Sinar Mas mau bangun pemukiman, mereka disuruh bangun jalan tol buat dana retribusi dari kegiatan ekonominya. Maka mereka akan membuat jlan tol yang menghubungkan tempat pemukiman dari kegiatan ekonomi mereka ke kota besar. “Ya, kayak gitu sekali dayung 2-3 pulau terlampaui. Dan itu gak dipermasalahkan secara itu legal di pemerintahan dan itu tetap menguntungkan mereka.”
Ada harapan dari teman aku, nih. Awalnya menenangkan diri aku kali, ya hahahaha.
“Terlihat sih, rokok bakal berkurang drastis.”
Dari apa?
Ia menjelaskan seperti ini: Jaman kita SD/ SMP orang yang berani merokok itu keren. Tapi, zaman milenial ini mulai berubah. Hal yang diangap kerena saat ini adalah bisa digital atau bahasa asing. Jadi rokok jadi trend lama. Semoga saja, ya.
Tapi pastinya Industri rokok udah punya strategi cerdik. Akan ada produk nikotin lainnya yang dikemas secara kekinian. Bahasan itu kita lewat dulu, ya.
“Zaman Industri 4.0 nanti, pekerja menurun di tingkat buruh. Ini akan berdampak ke kebijakan ekonomi. Karena Industri Rokok tidak menyerap tenaga kerja banyak lagi, bakal ada kebijakan kenaikan bea cukai nantinya.”
Sebenanrya permasalahn utamanya adalah belum adanya perusahaan yang produk persaingannya bisa dorong pembangunan kayak rokok. Perusahaan baru selalu ditekan dengan biaya pajak, biaya pendaftaran produk, dan lain-lain sama pemerintah sehingga menghambar adanya kompetitif yang memberikan pajak lebih dari perusahaan rokok.
Kalau mau membuat produk yng bisa bersaing dengan rokok, butuh waktu yang lama buat tau selera masyarakat, perizinan, produksi, istilahnya benar-benar dari nol lagi. Itu kalau kita mau bikin usaha jaka panjang, bukan jaka pendek, karena rokok masuk ke Indonesia juga proses jaka panjang.
Contohnya adalah Gojek, startup yang keren dengan kajian dari berbagai literatur dan mencontoh dari negara lain. Mereka bisa ubah ojek pangkalan jadi gojek digital. Itu butuh kajian panjang. Sisi positifnya banyak alternatif transportasi, jangka pendeknya memang nambah kemacetan. Namun, jangka panjangnya justru mampu mengurangi kemacetan.