Siang itu aku sedang bersantai di atas spring bed ukuran 90 cm x 120 cm sambil mendengarkan nasyid Snada berjudul Alif Kecil. Mataku tertuju pada langit kamar yang bolong membayangkan sosok anak kecil malang yang diceritakan dalam nasyid.
Aku Terpejam menikmati lantunan lagu lewat headset putih. Hanya seorang diri di rumah, sedangkan yang lain sibuk dengan aktivitas di luar. Maklum, anak semester akhir kerjanya malam hari, siang harinya masih bisa santai menikmati atap langit atau hanya sekedar berselancar di media sosial.
“Ya Allah, tinjukkan jalan-Mu pada si Alif kecil. Agar dia dapat menahan cobaan dan rintangan yang datang menghadang,” dengan lirih aku mengikuti lantunan lagu masih dalam mata tertutup.
Tak terasa aku tertidur pulas di antara teriknya sinar yang mengetuk pintu jendela kamar dan lantunan syahdu nasyid yang masih berputar.
***
“Hiks.. hiks.. hiks” di atas rerentuhan rumah, aku mendengar suara tangisan seorang perempuan. Aku menengok kanan dan kiri, tetapi belum mendapatkan di mana suara itu berasal. Kemudian aku mendengar percikan api, dibuat semakin penasaran. Aku menengok ke belakang, menemukan nyala api.
Aku sulit berjalan di antara puing-puing. Tanganku berusaha menyeimbangkan gerak langkahku sambil tetap fokus melihat api yang menyala.
Di balik api ternyata ada seorang ibu setengah baya dan seorang anak yang baru saja terbangun dari tidurnya. “Ibu, sekarang kita sahur pakai apa?” dengan masih menggunakan selimut berwarna kuning dihiasi kain perca sebagai tambalan bagian selimut yang bolong.
“Ummi belum mendapatkan bahan makanan, Hamas. Tunggu, Ummi akan carikan di luar, ya Nak” kata perempuan itu sambil tersenyum dan matanya berkaca-kaca.
Aku bingung, yang dianggap luar oleh sang Ibu itu di mana? Bukankah mereka saat ini berada di luar? Tidur menatap luasnya langit, hanya ada sisa puing yang masih kokoh berdiri saja yang menandakan satu petak rumah. Lalu, tempat ini apa namanya? Ruangan dalam?
Aku mengikuti langkah perempuan paruh baya ini. Melihat di sekeliling, ibu tersebut tidak menemukan apa-apa. Ia berjalan sedikit ke arah barat. Di antara puing beton ia menemukan rumput, langkah kakinya dipercepat. “Alhamdulillah” lirihnya.
Kemudia ia mencabut rumput dan segera lari kembali menuju anaknya. Saat kembali, sang anak sudah menyiapkan tempat masak di atas tumpu api dan air yang sudah mendidih. Ibunya membilas rumput dan memotongnya dengan tangan dan dimasukkanlah rumput tersebut untuk direbus.
“Ibu, tambahkan sedikit garam agar terasa rebusan rumputnya” aku melihat dengan pasrah ketika ibunya memasukkan garam ke dalam rebusan rumput.
Mereka makan sayur rumput masih di tempat merebus. Senyum terpancar dari sosok anak laki-laki kecil.
***
Aku masih tertidur pulas. Sedangkan azan zuhur sudah lewat 15 menit yang lalu. Kini, nasyid yang berputar adalah ‘Ashabul Kahfi’ dari Raihan.
“Disangka tidur hanya sehari, rupanya 309 tahun. Zaman bertukar beberapa kurun di bumi bersejarah urdhu”
***
Aku menatap mereka yang sedang asik bercengkrama sambil menikmati hidangan sahur. “Kamu makan yang banyak, biar bisa main sama Abdullah. Kalau main hati-hati, ya. Tetap mohon perlindungan dari Allah” anaknya mengangguk dengan semangat sambil menikmati sayur rumput.
Matahari sudah menyingsing. Anak anak Palestina bermain di lapangan luas. Aku tahu, lapangan ini dulunya pasti rumah. Sekarang sudah rata dengan tanah. Entah, pemilik rumahnya di mana saat ini. Ada di pengungsian atau sudah kembali ke sisi Allah.
Hamas, nama yang aku dengar dini hari saat ibunya memanggil anak laki-laki itu. Yang duduk di atas tenk itu pasti Abdullah.
“Hamas, aku punya satu buah kurma. Kemarin pamanku membawakan untuk aku dan adik-adikku. Ini, aku bawakan satu kurma untukmu,” kata sosok anak kecil berambut ikal.
“Terima kasih Abdullah. Ummi pasti senang kalau tahu aku bawa kurma untuk buka puas.”
Aku tersenyum lebar pada Abdullah. Namun, sayangnya ia tidak bisa melihat betapa manisnya senyumku yang tertuju padanya. Aku berusaha duduk di atas tank di sebelah Abdullah. Mereka berdua masih asik bercerita dan tertawa bersama.
Matahari semakin terik menembus kulit. Sudah waktunya salat Zuhur. Kedua anak ini berpisah. Aku turun dari tank dan memilih mengikuti Hamas menuju rumahnya.
Hamas berjalan sambil menggenggam erat kurma di tangan kanannya. Menyusuri bangunan rumah setengah utuh, pohon-pohon dengan daun yang penuh debu, dan mobil usang tak terfungsi lagi.
Sambil mengikuti langkah Hamas, aku melihat tembok Alaqsa dan terpancar kubah salah satu masjidnya. Indah sekali, walau aku hanya melihat bagian atas masjid. Namun sepi, tidak banyak orang-orang Palestina yang berkunjung. Hanya terdengar suara tembakan bebas. Aku jadi mawas diri dan semakin memperhatikan Hamas yang jalan penuh semangat.
Aku menengok ke belakang, melihat tentara Israel sudah siap dengan pistol hendak menghunus mangsa. Bola mataku membesar memastikan arah ujung pistol itu bukan ke arah Hamas. Tunggu, aku salah!
“Hamas, awas! Ke pinggir Hamas!” aku berteriak. Namun, percuma Hamas tidak mendengar suaraku.
“Cekrek cekrek”
“Duuaaaaar”
“Allahu Akbar Ummiiiiiii”
“Hamaaaaaaaaaaas!” aku menangis tak terbendung melihat darah begitu deras keluar dari punggung Hamas. Namun Hamas tidak berkutik lagi, hanya ucapan syahadat lirih dari bibirnya.
Kurma yang digenggamnya jatuh dan dilumuri darah.
Siang semakin terik. Burung-burung keluar dari sangkarnya. Siang itu sepi hanya ada aku yang jadi bayangan menangisi kepergian Hamas.
***
“Hamaaaaaaas” aku terbangun dari tidur. Keringat membanjiri rahang atas dan sekitar leherku. Nafasku begitu cepat seperti orang lari maraton.
“Hamas, selamat berbuka puasa di surga,” kataku masih dengan menatap langit kamar.
Ternyata lagu dari handphone-ku masih berputar. Sekarang judulnya, ‘Palestina Tercinta’ dari Shoutul Harakah.