Dengan Hoax dan Kebencian, Pemilu 2019 Di Bayang Kerusuhan, Apa Upaya Kita?

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

Jarum jam belum sampai di angka 7
pagi, ketika serombongan pemuda yang mengaku simpatisan Alliance, kelompok
oposisi Honduras yang dipimpin oleh mantan wartawan olahraga keturunan
Palestina, Salvador Nasralla mendatangi rumah Martinuz, seorang karyawan
perusahaan retail di Tegucigalpa, Ibukota Honduras.

Mereka merusak pagar rumah
Martinuz, menuntut Martinuz bersaksi di pengadilan untuk membuka dugaan kecurangan
Pemilu dari petahana, Juan Orlando Hernandez dari partai Nasional. Martinuz
adalah anggota “KPU”nya Honduras. Martinuz dipaksa membuka mulut, dan
saat itu Martinuz tetap bertahan pada prinsipnya bahwa Pemilu sudah dilakukan
sesuai dengan undang-undang.
 
Akibatnya, rombongan pemuda tadi
mengamuk, rumah Martinuz di bakar dan merembet kepada kerusuhan massal di
Honduras. Terjadi bentrokan antar massa dan kepolisian, total 11 orang
meninggal dalam kasus Honduras pasca pemilu.
Hal serupa juga terjadi di Kenya
pada pemilu 2007. Kerusuhan terjadi ketika oposisi Raila Odinga tidak terima
hasil pemilu yang memenangkan petahana Mwai Kibaki. Kerusuhan memakan korban
1300 orang dari data resmi, data tak resmi melaporkan angka sampai 3 kali
lipatnya.
Kerusuhan terjadi lagi pada
Pemilu 2013, dengan lakon yang sama, Raila Odinga pada oposisi melawan Uhuru
Kenyatta, putra Presiden pertama Kenya Jomo Kenyatta. Odinga kalah lagi, rusuh
lagi.
Jauh kebelakang, kita melihat
pula masa kelam Jerman dalam proses Pemilu, saat itu tahun 1933. Sebelum Pemilu
dilangsungkan, Reichskanzler saat itu, Adolf Hitler dan partai Nazi-nya
menangkat propaganda kasus terbakarnya rumah parlemen Reichstag dan ancaman
penggulingan oleh Komunis sebagai menu utama.
Propaganda Nazi saat itu sangat
massif dan terencana matang. Tuduhan Nazi terhadap Komunis sebagai biang keladi
terbakarnya rumah parlemen dijalankan dengan aksi. Kekayaan partai komunis
Jerman, KPD ditarik. Dokumen KPD di jarah, ribuan pendukung KPD dan Demokrat
menjadi korban dan kabur keluar negeri. Ketika Pemilu berlangsung, partainya
Hitler, NSPAD hanya meraih 49%, tidak cukup untuk memerintah tunggal. Dilakukanlah
teror dan ketakutan di masyarakat, termasuk kepada Yahudi. Hasilnya partai KPD
hancur dan muncul hanya 1 partai, partai Nasionalsosialis, di bawah kendali
penuh Nazi.
Tiga kasus di atas adalah kasus
dimana Pemilu yang seharusnya menjadi proses demokrasi dalam memilih pemimpin
berbalik menjadi mimpi buruk. Pemilu bukan memajukan negara, malah menjadi
kemunduran. 
Tiga negara di atas mengalami
masa kelam politik selepas kerusuhan Pemilu. Honduras dan Kenya tak juga naik
menjadi negara berkembang dengan strata baik, mereka jauh dibawah Indonesia.
Pun Jerman yang kalah habis-habisan di Perang Dunia II. Beruntung bagi Jerman, karena
intelektual masyakaratnya di atas rata-rata.
Tiga negara di atas pun memiliki
ciri yang sama, kerusuhan yang salah satunya diakibatkan oleh ambisi kekuasaan
yang mengerikan. Plus ciri-ciri tokoh utama yang nyaris sama.
Oposisi Honduras, Salvador Nasralla
adalah politikus yang gagal dalam Pemilu tahun sebelumnya, pun Raila Odinga,
yang kalah berkali-kali dalam Pemilu Kenya. Hitler pun setipe bahkan diatas
mereka.
Indonesia bisa seperti itu? BISA. 
Tapi, Indonesia tidak akan
seperti itu, jika kita mengerti dan paham tipe-tipe pelaku haus kekuasaan.
Seperti Nasralla dan Odinga, mereka tak pernah bosan mencalonkan diri menjadi
Capres, meskipun gagal berkali-kali. Kedua, mereka punya bibit sifat dari
Hitler, hobi melempar isu SARA dan suka propaganda ketakutan serta Hoax.
Indonesia pernah memasuki masa
kelam di tahun 1998 dan untuk itu, kita bertekad bahwa tidak akan ada lagi
keresahan, kerusuhan dan kekacauan dalam Pemilu April 2019 nanti. Kita tidak
mau lagi mundur ke arah 98. Kita tidak mau Indonesia kembali hancur apabila
sosok haus kuasa nekat memaksakan kehendaknya untuk menggulingkan atau tidak
terima terhadap hasil Pemilu nanti.
 Lawan hoax dan lawan ujaran
kebencian!
Hoax atau berita palsu muncul
dengan adanya sentimentil atas golongan atau pihak, terkait tindakan atau
kebijakannya yang tidak sesuai dengan alur berpikir pihak oposisinya. Hoax atau
berita palsu mengikuti alur berpikir pembacanya yang kira-kira bisa menimbulkan
efek sensitivitas yang meningkat entah itu kebencian atau semangat untuk mendukung
paslon.
Fenomena ini, memang
menggelembung pada Pilpres kali ini. Ditandai dengan kasus hoaks Ratna
Sarumpaet – yang dikabarkan dipukuli sekelompok orang tak dikenal di Bandung
padahal bengep karena operasi plastik di Jakarta – sampai kabar viral bahwa di
Tanjungpriok masuk tujuh kontainer berisi @10 juta surat suara datang dari
China yang sudah dicoblos di sisi salah satu paslon.
Belum lagi dengan entengnya
masing-masing pihak tidak mengapresiasi apa yang dilakukan pihak Capres satu
yang telah membangun infrastruktur, di antaranya menyambungkan proyek jalan Tol
Trans Jawa — dengan komentar suara emak-emak, “Kami Tidak Makan
Infrastruktur”, “Buat Apa Membangun Tol tak Berguna dengan Utang” dan
sebagainya. Lengkap sudah, suasana kampanye Pilpres diwarnai dengan ujaran
kebencian.
Indonesia harus dan wajib melaksanakan Pemilu damai
Para pendahulu kita, para patriot
Indonesia di masa lalu sudah memberi contoh akan gelaran Pemilu Demokratis yang
tercatat “paling demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia” yakni Pemilihan
Umum 1955 untuk memilih anggota legislatif pertama sejak Indonesia Merdeka 17
Agustus 1945.
Sejak pemilu pertama, Para
pendahulu bangsa kita sudah memberi contoh demokratis dan aman pada 64 tahun
silam, mosok di era Indonesia Modern kali ini kita mau melangsungkan Pilpres
dalam suasana perang? Zero Sum Game? Yang menang berjaya atas yang lain, dan
yang kalah kudu hancur?
Padahal, Capres Prabowo misalnya,
sudah mencontohkan dalam debat kedua kemaren, bahwa dirinya mengakui yang baik,
dan menerima yang sudah baik untuk diteruskan – meskipun ia katakan, ia akan
memilih strategi berbeda jika terpilih jadi Presiden.
Atau ujara Capres petahana, Joko
Widodo berkali-kali dalam kampanye – tak hanya selama Pilpres 2019, akan tetapi
juga lima tahun silam di Pilpres 2014, bahwa “Pemilu dan Pilpres adalah sebuah
pesta rakyat, yang digelar damai tanpa rasa ketakutan,” atau saling benci
tentunya. Mengapa harus dibangkit-bangkitkan semangat perang, dan meruntuhkan
satu pihak dengan yang lain?
Zaman sudah sedemikian maju,
setelah 74 tahun merdeka. Serba terbuka, nyaris tanpa tedeng aling-aling
informasi mengalir tersebar dengan cepat, serta merta dan meluas. Mengapa mesti
ditarik kembali ke masa jahiliyah?
Pilihan memang tidak bisa dua
untuk menduduki posisi Presiden. Tetapi setelah Pilpres yang kalah tentunya
terus membawa rakyat yang mendukungnya untuk ikut membangun negeri. Bukan
menghancurkan negeri dengan perang kebencian, perang narasi hoax, perang kepentingan
yang tidak toleran.
Indonesia harus dan wajib
melaksanakan Pemilu damai, saya dan kamu hanya bisa berusaha, semaksimal
mungkin meskipun lewat tulisan. Percayalah, Indonesia selalu baik-baik saja.
Share the Post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Bahagia yang Tertahan

Saat kumulai menulis ini, baru memasuki Syawal kelima. Saat rasanya lelah badanku belum hilang setelah aksi Palestina bersama Serikat Pengemudi Daring (Speed) empat hari setelah

Read More »